李標堂 & 丘喜妹
Pasangan suami-istri Lie Bhiao Thong 李標堂 dan Hioe Hie Moy 丘喜妹 tiba di kota Badung (sekarang Denpasar) dengan perasaan yang berkecamuk. Mereka harus meninggalkan putri sulung mereka di Tiongkok dengan hanya sedikit pengharapan untuk bisa bertemu kembali. Putri sulung itu bernama Lie Tjhiom Hie, diasuh oleh kakek neneknya.
Seorang anak laki-laki yang diberi nama Lie Tjhen Khin telah diadopsi oleh pasangan Lie Bhiao Thong dan Hioe Hie Moy untuk menjadi anak mereka. Anak mereka yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima semuanya meninggal dunia. Tidak ada yang tahu siapa nama anak-anak itu. Setiap kali Ibu Hioe Hie Moy ditanya mengenai anak-anaknya ini, dia terus-menerus menangis dengan rasa duka yang mendalam. Hanya ada satu informasi yang diketahui, yakni pernah dalam satu hari yang sama, dua orang anaknya meninggal, satu anak berusia 1 1/2 tahun, dan adiknya yang berusia 6 bulan.
Stigma yang diberikan masyarakat pada saat itu adalah mereka memang orang yang tidak layak memelihara anak-anak mereka. Ada juga pendapat bahwa di antara mereka ada yang hawanya selalu bertentangan dengan anak-anak mereka (ciong). Ada juga yang menghakimi bahwa anak-anak mereka itu dimakan roh-roh jahat.
Tidak lama setelah kejadian yang memilukan hati itu, mereka melahirkan anak ke-6. Seorang anak perempuan yang diberi nama Lie Khun Nio. Namun karena trauma masa lalu yang masih melekat di benak mereka, bayi perempuan ini segera diberikan kepada keluarga lain untuk diadopsi.
Hioe Hie Moy lebih rela anaknya dipelihara oleh keluarga lain daripada harus meninggal seperti anak-anaknya yang ke-2 hingga ke-5. Lie Khun Nio tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan di kemudian hari mengubah namanya menjadi Lie Ling 李玲. Yang membuat Hioe Hie Moy terhibur adalah dia masih bisa melihat anaknya itu bertumbuh. Keluarga yang mengadopsi Lie Ling adalah keluarga berpendidikan Belanda yang tinggal di kota Badung (Denpasar) juga.
Tidak mereka sangka, lahir lagi anak ke-7 dan perempuan lagi. Bayi itu diberi nama Lie Tjhit Moy (Tjhit dalam bahasa Hakka berarti tujuh dan Moy adalah anak perempuan) pada tanggal 16 April 1927. Lie Bhiao Thong dan Hioe Hie Moy tidak terlalu antusias mencari nama lain bagi bayi itu karena mereka berencana memberikan bayi itu kepada keluarga lain untuk diadopsi. Ini semua karena pengalaman masa lalu yang benar-benar traumatis. Mereka tidak berani membesarkan bayi itu.
Atas nasehat seorang teman, mereka akhirnya memberanikan diri untuk membesarkan bayi perempuan yang ke-7 tersebut, namun tetap dengan hati yang was-was.
Lie Tjhit Moy berusia 2 tahun ketika adik perempuannya lahir. Anak ke-8 ini tidak diberi nama Lie Pak Moy (putri ke-8), tetapi Lie Man Moy 李滿妹. Man artinya penuh/cukup. Maksud Lie Bhiao Thong adalah cukuplah punya anak perempuan. Kalau boleh, anak berikutnya adalah anak laki-laki. Anak ke-9 memang lahir bayi laki-laki, namun sekali lagi duka melanda keluarga itu. Ketika bayi itu baru berusia beberapa bulan, ia meninggal mendadak. Mereka tidak berani lagi berharap untuk mendapat seorang anak laki-laki. Mereka hanya bisa pasrah dengan nasib mereka.
Namun, ketika Lie Tjhit Moy berusia 5 tahun, lahirlah adik laki-lakinya yaitu Lie Tjen Sen 李增慎. Perlahan-lahan trauma masa lalu Lie Bhiao Thong dan istrinya mulai berkurang. Ketiga anak mereka yang ke-7, ke-8, ke-10 bisa tetap bertumbuh dengan sehat.
Lie Tjen Sen 李增慎
Lie Bhiao Thong bekerja keras setiap hari di sebuah toko pembuat ikat pinggang kulit. Toko itu adalah Toko Whan Thong di Jalan Kampung Arab (sekarang Jl. Sulawesi). Hasil kerja kerasnya digunakan untuk menyewa sebuah rumah kecil di Jl. Wangaya (sekarang Jl. Kartini dan dulu pernah ada Toko Tip-Top di rumah itu). Tidak berapa lama kemudian, mereka berhasil menyewa sebuah toko yang sekaligus menjadi rumah tinggal di Pasar Badung. Di lantai 1, Hioe Hie Moy berjualan barang-barang kelontong dan mereka tinggal di basement. Begitu jendela samping dibuka, mereka bisa melihat sungai dengan air mengalir yang masih jernih (Tukad Badung).
Dari kiri ke kanan:
Lie Tjhit Moy, Lie Tjen Sen, Lie Man Moy, Lie Ling
Lie Bhiao Thong tetap bekerja di toko kulit itu, sementara Hioe Hie Moy melatih kedua putrinya yang masih kecil untuk menjadi asistennya. Tiga hari sekali adalah hari perkenan/pasaran. Lie Tjhit Moy sebenarnya adalah gadis yang pendiam dan agak pemalu. Namun, kasihnya kepada orang tua dan rasa tanggung jawabnya sebagai "anak sulung" mendesak dia untuk berdiri di depan toko dan memanggil orang-orang untuk mampir di tokonya.
"Jero-jero, mai meblanje, ajine mudah-mudah."
(Saudara-saudara, mari berbelanja, harganya murah-murah.)
Sejak usia 7 tahun, Lie Tjhit Moy sudah bisa menambal payung kertas yang berlubang. Setelah ditambah dengan kertas lain lalu diplitur, maka payung kertas itu bisa dijual kembali di toko mereka. Kakak angkat lakinya sejak usia muda sudah bekerja pada keluarga lain.
Dua gadis kecil keluarga Lie ini dilatih untuk cekatan melayani pembeli. Mereka harus tahu di mana letak barang-barang dari pakaian dalam, minyak wangi, bedak, hingga kain lap, wajan, dan cangkul. Begitu pulang sekolah, mereka harus berbagi tugas, satu anak di bawah (basement) menghangatkan masakan, mencuci dan menyeterika pakaian, sementara yang lain menolong mama mereka di toko. Adik laki-laki mereka masih terlalu kecil pada waktu itu.
Lie Tjhit Moy menjalani rutinitas hidup sehari-harinya dengan mengesampingkan keinginan bermain sebagaimana anak-anak lain seusianya. Dunianya hanya berkisar pada dunia sekolah (Cung Hwa Sie Siao di Jl. Kartini). Pagi-pagi sekali ia harus bangun dan membantu mamanya di dapur. Gadis kecil itu tidak pernah terlambat ke sekolah walaupun selalu berjalan kaki ke sekolah. Teman-temannya yang berasal dari keluarga lebih mampu bisa naik dokar jika mereka merasa terlalu lelah. Lie Tjhit Moy sering meraih juara di sekolahnya. Walaupun hidup sederhana, Lie Tjhit Moy merasa bahagia.
Hampir tidak pernah Lie Tjhit Moy dan adik-adiknya dimarahi orang tua mereka. Papa mama mereka memberi ketekunan dan kesabaran dalam menanggung segala masalah. (Ren Nai dalam bahasa Mandarin).
Kenangan manis yang tak terlupakan adalah saat tahun baru. Itulah hari yang ditunggu-tunggu oleh Lie Tjhiet Moy dan adik-adiknya. Papa mereka sudah menabung jauh-jauh hari sebelumnya. Hari itu mereka tidak buka toko. Lie Bhiao Thong sudah menyewa sebuah dokar yang akan membawa mereka sekeluarga rekreasi ke Pantai Sanur. Di sana Tjhit Moy dan adik-adiknya bermain air sambil mengumpulkan batu apung dalam keranjang. Batu apung itu sebagian dipakai sendiri untuk mengasah pisau dan sebagian lagi dijual di toko mereka. Rekreasi sehari itu bisa menghibur rutinitas hidup mereka sepanjang tahun.
Tahun 1936 adalah tahun yang sangat memilukan hati Lie Tjhit Moy dan adik- adiknya. Papa mereka sakit batuk. Mulanya Lie Bhiao Thong mengira itu sakit batuk biasa. Sakit batuk itu berlangsung cukup lama dan makin lama tubuh Lie Bhiao Thong makin kurus dan lemah. Ketika keluarganya membawanya ke Rumah Sakit Wangaya, ternyata kondisinya tidak makin membaik, bahkan makin melemah hari demi hari. Waktu itu obat-obatan di Bali bergantung dengan kiriman dari Kota Surabaya melalui kapal. Lie Bhiao Thong akhirnya tidak tertolong dan meninggalkan istri dan 4 anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
Lie Tjen Khien sudah berusia belasa tahun, Lie Tjhit Moy baru berusia 9 tahun, Lie Man Moy 7 tahun, dan Lie Tjen Shen baru berusia 4 tahun. Ibu mereka, Hioe Hie Moy berusaha untuk tetap tegar di hadapan anak-anaknya, walaupun hatinya begitu pilu. Tidak ada lagi suami yang menjadi pelindung keluarga ini, seorang suami dan papa yang begitu sabar dan sangat mengasihi keluarganya.
Tidak berapa lama kemudian, kesulitan ekonomi mulai melanda keluarga ini. Penghasilan dari toko kelontong mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari. Dahulu ketika Lie Bhiao Thong masih hidup, mereka bisa membayar sewa toko itu dengan gajinya.
Lie Tjen Khien (anak angkat keluarga Lie) bekerja sebagai pegawai di sebuah toko. Uang keluarga hanya cukup untuk membayar uang sekolah 2 anak. Tjhit Moy dan adiknya Man Moy dengan rela bergantian sekolah supaya adik laki-laki mereka bisa tetap bersekolah. Tjhit Moy bersekolah selama setahun, lalu tahun berikutnya Man Moy yang bersekolah. Mereka mendahulukan adik laki-laki mereka karena dia lah yang di kemudian hari akan menjadi tulang punggung keluarga.
Pada akhirnya, Hioe Hie Moy tidak sanggup lagi membayar uang sewa toko. Mereka harus pindah ke rumah sewa di Jl. Gemeh (sekarang Jl. Diponegoro). Setiap hari Hioe Hie Moy harus membawa barang dagangannya dalam buntalan kain besar ke Pasar Badung. Kali ini ia menjual pakaian dalam, topi, dan kaos kaki anak-anak. Seorang pemilik toko di Pasar Badung berbaik hati mengizinkan Hioe Hie Moy menggelar jualannya dalam sebuah keranjang di depan tokonya.
Lie Tjhit Moy tidak ikut berjualan di pasar karena ia bertugas mengurus rumah tangga, dari memasak, menyapu, mencuci, dan menyeterika pakaian, serta membersihkan rumah. Ketika mamanya pulang dari berjualan pada sore hari, rumah sudah dalam keadaan bersih dan rapi.
Sejak kecil, Lie Tjhit Moy sudah tertarik kepada dunia fashion. Jika ada waktu luang, sambil menunggu mamanya pulang dari pasar, Tjhit Moy akan mampir ke tempat kakak perempuan yang sudah diadopsi keluarga lain. Keluarga itu menerima kedatangan Tjhit Moy dengan tangan terbuka. Lie Ling, sang kakak juga punya selera yang sangat bagus untuk fashion.
Walaupun tidak pernah sekolah modiste, Lie Ling sudah bisa menerima jahitan. Dia membuat gaun-gaun itu berdasarkan pola dari majalah mode luar negeri yang menjadi koleksinya. Saat itu di Kota Badung, koleksi buku modenya termasuk yang sangat modern dan lengkap. Dengan antusias Tjhit Moy menjadi asisten Lie Ling.
Saat pengumuman kenaikan kelas untuk murid-murid kelas 5 SD, Tjhit Moy duduk terdiam. Wali kelasnya mengumumkan juara-juara kelas. Tjhit Moy berhasil mempertahankan prestasinya sebagai juara ke-2. Dia berusaha menahan air matanya. Gadis itu tidak mau teman-temannya tahu kepiluan hatinya. Itulah hari terahirnya sebagai seorang pelajar. Dia tidak akan mendapat kesempatan untuk menikmati hari-hari di kelas 6 nanti. Saat berjalan pulang dari sekolah, sambil memeluk rapornya, air matanya tidak tertahankan lagi. Karena tidak mau dilihat orang-orang, ia berjalan sambil kepalanya tertunduk. Mamanya tidak boleh melihat air matanya. Tjhit Moy sudah bertekad untuk menyimpan kesedihannya sendiri. Adik laki-lakinya adik bungsu yang begitu ia sayangi harus bisa sekolah minimal sampai SMA. Di antara teman-teman sekelasnya, hanya Tjhit Moy yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Teman-temannya beruntung, mereka masih memiliki papa dan ekonomi keluarga mereka cukup baik. Saat hari liburan kenaikan selesai dan sekolah dimulai kembali, dengan ketabahan dan ketegaran yang luar biasa, Tjhit Moy menyaksian teman-temannya berangkat ke sekolah.
Tjhit Moy tidak mau tenggelam dalam kesedihannya dan meratapi nasibnya. Segera ia menyibukkan diri dengan lebih sering membantu Lie Ling kakaknya. Demikianlah Tjhit Moy bertumbuh menjadi seorang remaja putri yang cantik, sederhana, dan terbiasa bekerja keras.
`°•.¸¸.•°` `°•.¸¸.•°` `°•.¸¸.•°` `°•.¸¸.•°`°•.¸¸.•°` `°•.¸¸.•°` `°•.¸¸.•°` `°•.¸¸.•°` `°•.¸¸.•°`
Demikian sekilas kisah gadis bernama Lie Tjhiet Moy yang kini telah berusia 84 tahun. Tidak ada lagi saudara kandung yang masih hidup. Lie Ling (kakak ke-6) meninggal dalam usia yang relatif muda. Lie Man Moy juga sudah meninggal dunia tahun 1980. Lie Tjen Sen juga sudah berpulang pada tahun 1984.
Tulisan ini disadur dari penulisan Diana Tjie, putri dari Lie Tjhit Moy.